Kamis, 25 September 2008

Universitas Kehidupan di Meja Makan

Hidup di kota besar seperti di Jakarta, bagi sebagian kita sungguh seperti dikejar-kejar. Waktu seperti ‘meneror’ kita. Pagi hari sebagian kita sudah berangkat mencari nafkah. Pulang malam hari. Begitu seterusnya. Berulang hingga menjadi rutinitas dan kebiasaan. Sebagian berdalih bahwa ini adalah tuntutan. Ya, ini bisa kita pahami, sebab di negeri pra sejahtera ini memang sulit mencari uang. Tapi, haruskah hidup kita diatur oleh uang. Walau segala sesuatunya memang membuhkan uang. Padahal, kebutuhan keluarga kita, terutama anak-anak kita bukan Cuma uang. Ada kebutuhan psikologis yang dibutuhkan saat anak kita dalam masa tumbuh kembang. Saat mereka membutuhkan partner, pendamping dalam perkembangannya, mereka membutuhkan sosok kita sebagai ayah sebagai mentor terbaiknya.

Sangat jarang saat ini, kita menjumpai kehangatan-kehangatan yang terbangun atau sengaja dibangun oleh sang Ayah kepada anak-anaknya. Kesibukan ‘mencari uang’ inilah yang membuat kita tak lagi dekat dengan keluarga kita, bahkan anak kita. Padahal, kita mencari uang untuk mereka. Untuk kehidupan mereka yang lebih baik. Lalu pertanyaannya, apakah kesibukan yang sering kita atasnamakan untuk mereka harus mengorbankan tugas utama kita dalam mendampingi tumbuh kembang mereka untuk menjadi ‘orang’.

Ada kisah menarik yang patut kita –para ayah renungi, sebuah suasana kehangatan yang sangat sulit ditemui sekarang ini. Kisah ini dituangkan oleh seorang professor pendidikan dari Amerika yang bernama F.Buscaglia. Ia menceritakan Kenangan indahnya bersama Ayah nya dalam buku Papa My Father. Berikut kisahnya:


Ketika ayah mulai tumbuh dewasa, dunia sedang berada dalam pergantian abad. Pada Masa krisis semacam itu, pendidikan hanya milik mereka yang berharta. Sementara ayah hanyalah seorang anak petani miskin. Ayah putus sekolah saat berada di kelas 5 SD.Beliau berhenti sekolah diikuti protes dari gurunya. Setelah itu, ayah bekerja di sebuah pabrik. Sejak saat itulah kehidupan menjadi sekolah dan tempat belajarnya.


Hasrat yang besar untuk untuk belajar (bersambung dulu yaa sudah masuk waktu shalat ashar....)
Hidup di kota besar seperti di Jakarta, bagi sebagian kita sungguh seperti dikejar-kejar. Waktu seperti ‘meneror’ kita. Pagi hari sebagian kita sudah berangkat mencari nafkah. Pulang malam hari. Begitu seterusnya. Berulang hingga menjadi rutinitas dan kebiasaan. Sebagian berdalih bahwa ini adalah tuntutan. Ya, ini bisa kita pahami, sebab di negeri pra sejahtera ini memang sulit mencari uang. Tapi, haruskah hidup kita diatur oleh uang. Walau segala sesuatunya memang membuhkan uang. Padahal, kebutuhan keluarga kita, terutama anak-anak kita bukan Cuma uang. Ada kebutuhan psikologis yang dibutuhkan saat anak kita dalam masa tumbuh kembang. Saat mereka membutuhkan partner, pendamping dalam perkembangannya, mereka membutuhkan sosok kita sebagai ayah sebagai mentor terbaiknya.

Sangat jarang saat ini, kita menjumpai kehangatan-kehangatan yang terbangun atau sengaja dibangun oleh sang Ayah kepada anak-anaknya. Kesibukan ‘mencari uang’ inilah yang membuat kita tak lagi dekat dengan keluarga kita, bahkan anak kita. Padahal, kita mencari uang untuk mereka. Untuk kehidupan mereka yang lebih baik. Lalu pertanyaannya, apakah kesibukan yang sering kita atasnamakan untuk mereka harus mengorbankan tugas utama kita dalam mendampingi tumbuh kembang mereka untuk menjadi ‘orang’.

Ada kisah menarik yang patut kita –para ayah renungi, sebuah suasana kehangatan yang sangat sulit ditemui sekarang ini. Kisah ini dituangkan oleh seorang professor pendidikan dari Amerika yang bernama F.Buscaglia. Ia menceritakan Kenangan indahnya bersama Ayah nya dalam buku Papa My Father. Berikut kisahnya:


Ketika ayah mulai tumbuh dewasa, dunia sedang berada dalam pergantian abad. Pada Masa krisis semacam itu, pendidikan hanya milik mereka yang berharta. Sementara ayah hanyalah seorang anak petani miskin. Ayah putus sekolah saat berada di kelas 5 SD.Beliau berhenti sekolah diikuti protes dari gurunya. Setelah itu, ayah bekerja di sebuah pabrik. Sejak saat itulah kehidupan menjadi sekolah dan tempat belajarnya.


Hasrat yang besar untuk untuk