Senin, 23 November 2009

BLT, Penyaluran Zakat dan Harga Diri Rakyat Miskin

Sahabat, masih ingatkah kita dengan perang kritik saat kampanye bulan Maret lalu. Salah satunya yang paling ramai menjadi issue media adalah soal kritik Mega terhadap kebijakan Presiden SBY mengenai Bantuan Langsung Tunai (BLT). Megawati dalam beberapa kampanyenya sangat keras mengkritik kebijakan SBY ini. Ia menilai bahwa kebijakan BLT mendidik jiwa pengemis, dan sangat memalukan karena membuat citra Indonesia kurang baik.

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengkritik kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dinilainya mendidik jiwa pengemis. Kebijakan BLT juga memalukan karena mencitrakan Indonesia yang kurang baik. "BLT itu mendidik jiwa pengemis dan memalukan, masak kita melihat dana ditebar-tebar dan orang dihimpit-impit," kritik Mega saat tampil dalam Forum PPP Mendengar sesi ke-12 pada hari Kamis (13/3), di kantor DPP PPP Jakarta. (Media Indonesia.com,20/3).

Atau masih ingatkah juga kita dengan peristiwa Pasuruan. Pembagian zakat pada bulan Ramadhan tahun lalu, telah berubah menjadi malapetaka. Bahkan pembagian zakat oleh H. Saikhon di Jl Wahidin Sudirohusodo, Kota Pasuruan, sebagai tragedi maut dalam sejarah pembagian zakat di Indonesia. Dari sekitar 5.000 orang yang berjejalan antre zakat di depan rumah H. Saikhon itu, 21 tewas setelah pingsan kehabisan oksigen, dan terinjak-injak. Sepuluh lainnya terluka dengan tujuh di antaranya dalam keadaan kritis.
Ada kesamaan dari 2 peristiwa yang beritanya sempat menghiasi media massa kita ini, yakni sama-sama disalurkan langsung kepada penerima dengan cara mengumpulkan penerima dalam antrian panjang. Bedanya BLT tidak atau belum menimpulkan korban jiwa meninggal dunia, sedangkan dalam penyaluran zakat sudah menelan korban meninggal. Dalam hal ini saya sangat sepakat dengan pernyataan Mega di atas bahwa model penyaluran bantuan yang seperti ini sangatlah tidak mendidik dan memberikan dampak psikologis yang kurang baik kepada rakyat miskin –si penerima BLT ataupun zakat tersebut. Salah satu dampak psikologis yang ditimbulkan, menurut saya adalah cenderung akan mendegradasi harga diri penerimanya. Penerima bantuan akan merasa dirinya adalah objek saja.
Lalu bagaimana seharusnya BLT, zakat ataupun stimulus anggaran kepada fakiri miskin itu diberikan? Sudah selayaknya bagi lembaga baik pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat ataupun badan amil zakat untuk memberikan bantuan kepada si miskin dengan mengedepankan cara-cara yang layak dan membuat harga diri si miskin menjadi lebih berarti. Cara yang paling efektif menurut saya adalah dengan memformulasikannya menjadi sebuah program pemberdayaan yang mampu mengangkat si miskin ke derajat yang lebih baik dan lebih bermartabat.

Program-program tersebut bisa disesuaikan dengan karakteristik objek penerima bantuan yang tentunya masing-masing daerah memiliki perbedaan baik dalam hal potensi sumberdayanya, sosial budaya dan tingkat ketergantungan si miskin terhadap lingkungan sosialnya. Program pemberdayaan yang terbaik adalah program yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan si miskin. Karenanya, menjadi penting bagi pemberi bantuan untuk duduk bersama melakukan kajian mendalam yang sederhana bersama para calon penerima bantuan. Jadikan para penerima bukan sekadar objek saja tapi perlakukan juga mereka sebagai subjek, yang tentunya hal ini akan memberikan rasa kepercayaan diri, meningkatkan harga diri dan membuat mereka merasa menjadi bagian tak terpisahkan dan faktor kunci dari kesuksesan program pemberdayaan tersebut.... (salam nur jamaludin)